Review Novel Perahu Kertas
Perahu Kertas; Tentang Mimpi, Kenyataan, dan Cinta
![]() |
Curcol sedikit yaa, saya terbilang cukup terlambat membaca novel ini, tapi kalau kata orang bijak, better late than ever. Saya sudah tahu dari lama sekali kalau buku ini ada di bumi nusantara, tapi novel karya Dee Lesteri ini masuk daftar kesekian dari wishlist saya atau dengan kata lain; saya tidak tertarik membeli apalagi membacanya. Barulah ketika salah satu booktuber merekomendasikan ini saya tergugah untuk membeli buku ini.
Tanpa pikir Panjang dan galau yang berkepanjangan saya hunting buku ini di shopee. Karena harga buku barunya di Mizan Store membuat kantong saya mendadak asma, jadilah saya membeli second handnya saja. Saya mendapat buku dengan harga 23.000. Kondisinya pun masih sangat layak di baca, malah hampir mulus kayak masih baru. Such a Good deal.
Baca juga : Dilema Buku Bajakan
Saya nggak expect apa-apa ketika mulai membaca buku ini. Pun saya juga tidak ada gambaran seperti apa kisah antara Kugy dan Keenan ini, penyokong saya hanyalah pada blurb di belakang buku.
Saat lembar pertama buku ini saya buka, saya langsung jatuh hati dengan gaya Bahasa Dee yang begitu mengalir. Tata bahasa yang digunakan Dee terbilang cukup ringan tapi sangat mengena. Saya merasa seperti perahu kertas yang di bawa angin menyusuri setiap jengkal alur ceritanya. Begitu sederhana tapi apik, mengharukan tapi tidak cengeng. Walau jujur saja saya sudah bisa menebak beberapa bagian cerita tapi itu tidak mengurangi rasa penasaran dan gregetan saya untuk terus membalik halaman lembar buku ini.
Satu kekurangan dari novel ini menurut saya ada pada bagian ending. Epilog yang disajikan oleh Dee menurut saya kurang ngegigit. Rasanya seperti berhenti di tengah-tengah permainan rollercoster. Ngegantung banget menurut saya.
Terlepas dari semua kekurangannya, saya suka dan cukup menikmati kisah Kugy & Keenan ini. Saya sampai merekomendasikan novel ini ke salah satu sahabat saya, dan dia merasakan hal yang sama seperti saya.
Kisah Kugy dan Keenan berhasil mengoyak emosi saya. Bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang mimpi, kenyataan, dan penerimaan mutlak akan diri sendiri. Banyak sekali pelajaran hidup yang saya petik dari kisah Kugy dan Keenan. Salah satunya adalah tentang impian.
Mimpi kita mungkin sering dianggap konyol oleh kebanyakan orang sampai terkadang kita sendiri terhanyut oleh standarisasi mimpi yang memaksa kita untuk menjadi orang lain. Menyangkal bakat dan potensi yang mengalir dalam darah kita hanya karena tidak sesuai dengan wadah tempat kita berada itu sangat menyakitkan. Ke mana pun kita lari dan mencoba menyangkalnya, potensi itu tetap ada, mereka menunggu bagaikan bayang-bayang kelam yang siap menelan kita dalam kehampaan, sampai kita siap untuk berbalik dan menerima dia sepenuhnya, maka bayang-bayang itu akan menjadi pelita, sinar harapan untuk kita terus melangkah maju.



❤❤
BalasHapus